Dia adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah
Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah
sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari
pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan
kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah.
Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah
menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat
dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi
Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi
kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang
telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan
disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah
ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal.
198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah
untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab
As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin
Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat
gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat bahwa
pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh
pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi
Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka saling
membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga
wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia
mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi
Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata:
“Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya
serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatanginya,
berbicara dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan
bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat
menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan
mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin.
(HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein
menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau
menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan
datang….” (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh
beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi
Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga
tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali
kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng
wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan
sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin
Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk
dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama-
adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan
keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa
mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari mereka
berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan
terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at
ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang
maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim
hal. 197-198).
Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri
yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya.
Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang
kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna
‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka
adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan
dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek
Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at
beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka
bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum
mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan
kaum muslimin karena Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengorbanan
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih
berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai
seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke
10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur
47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur
adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh
dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena
racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang
membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai
pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
‘Arabi dengan ucapannya: “Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena
dua hal: pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan
kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada
Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah
seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat
mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu
(Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh
lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima
kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.”
(Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti
syar’i serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula
penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan
melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya
sebagai syahid. Amiin.