NVIDIA Untethers Gaming with Project SHIELD

SELAMAT DATANG DI BLOGKU "www.reef-law.blogspot.com"

Assassin’s Creed III

SELAMAT DATANG DI BLOGKU "www.reef-law.blogspot.com"

God of War: Ascension Coming 03.12.13

SELAMAT DATANG DI BLOGKU "www.reef-law.blogspot.com"

CALL OF DUTY - MODERN WARFARE 3

SELAMAT DATANG DI BLOGKU "www.reef-law.blogspot.com"

SNIPER GHOST WARRIOR

SELAMAT DATANG DI BLOGKU "www.reef-law.blogspot.com"

Minggu, 13 Januari 2013

SOSOK HASAN BIN ALI BIN ABU TALIB R.A


Dia adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah.

Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.

Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiya­llahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.

Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpen­dapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka sa­ling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-­wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-­Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatangi­nya, berbicara dengannya dan memohon pada­nya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)

Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau mene­rimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat Al­Bidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.

Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.

Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-­Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sem­bilan keturunannya adalah maksum. Dan dari kon­sekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang ber­sumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al­-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-­Awashim minal Qawashim hal. 197-198).

Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengka­firkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:

Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).

Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para peng­khianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.

Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap Al­Hasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.

Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlang­sung dengan persatuan kaum muslimin karena Al­lah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengor­banan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang membunuh­nya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya: “Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)

Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Is­lam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)

Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.


Sabtu, 12 Januari 2013

KISAH SEDIH SEORANG AYAH



Cerita ini adalah kisah nyata seorang pria yang sampai sekarang juga masih hidup, semoga kisah ini
tidak akan terjadi untuk sobat semua sekaligus menjadi pelajaran buat kita.

* 25 tahun yang lalu.
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku.. Cita-cita kami
sederhana,ingin hidup bahagia.


* 22 tahun yang lalu.
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa
menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan
orangtua Kania tak mau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.


* 19 tahun yang lalu.
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak ‘Horeee, Iya bisa terbang’. Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, ‘Iya sayaaang,’ jika sudah terdengar suara ‘Prang’. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca.. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang ‘Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?’


* 18 tahun yang lalu.
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya. ‘Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola’ tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. ‘Horee, Iya jadi pemain bola.’


* 17 Tahun yang lalu.
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan ‘Iyaaaa’. Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata ‘Coba kalau kamu tak belikan ia bola’


* 15 tahun yang lalu.
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.


* 13 tahun yang lalu.
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.


* 10 tahun yang lalu.
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. ‘Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.’ Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
‘Sabar ya, Nak!’ hiburku. ‘Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!’ pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.!


* 7 tahun yang lalu.
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila
bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai
habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.


* 4 tahun lalu.
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa shalat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk shalat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk
kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.


* 3 tahun 6 bulan yang lalu.
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.


* 2 tahun 6 bulan yang lalu.
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia . Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.
Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
‘Bapak, Iya Takut!’(aku memeluknya lebih erat lagi)
Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. ‘Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?’ ‘Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan , Pak!’ hati ini perih mendengarnya. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa
apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.


* 2 tahun yang lalu.
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan ‘blass’ Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
‘Kania?’
‘Mas Har, kau … !’
‘Kau … kau bunuh anakmu sendiri, Kania!’
‘Iya? Dia..dia.. Iya?’ (serunya getir menunjuk jenazah anakku.)
‘Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar.’
‘Tidak … tidaaak … ‘ (Kania berlari ke arah jenazah anakku.)
Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya ‘Terima kasih Mama.’ Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.


* Setahun lalu.
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak, ‘Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.’ Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku.

Semoga Bermanfaat untuk kehidapan sehari hari kita. Thanks
Rifai Lawarakan